Pro-Kontra SMS Interkoneksi Berbasis Biaya
ilustrasi (ist)
Jakarta - Meski baru akan diterapkan pertengahan 2012, namun kebijakan tentang penagihan biaya (cost based) interkoneksi untuk pengiriman SMS lintas operator sudah menimbulkan pro dan kontra.
Tentangan itu disuarakan oleh Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Santosa yang menilai kebijakan itu sudah terlambat. Seharusnya, kata dia, kebijakan ini diterapkan saat industri seluler baru mulai dibangun.
"Nah, kalau baru sekarang dijalankan (2012) bisa berdampak tidak hanya belanja modal, tapi juga menambah beban operasional," jelasnya kepada detikINET, Rabu (21/11/2011).
Beban yang dimaksud berupa persiapan modifikasi storage, server, sistem billing, pengalokasikan dana untuk belanja modal (capital expenditure) dan sistem interkoneksinya masing-masing.
Setyanto pun menilai, penerapan SMS cost based juga tak akan efektif menghentikan pengiriman SMS spam mengingat kompetisi di industri telekomunikasi selalu menimbulkan kreativitas baru.
"Jika memang tujuan utamanya menghentikan SMS Spam alias pengiriman informasi yang tak diinginkan ke pelanggan, itu tidak akan efektif. Lihat saja nanti, saya yakin akan muncul penawaran yang cerdik dari operator," tukasnya.
Justru Menguntungkan
Sementara menurut Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), pergantian rezim SMS interkoneksi berbasis biaya yang semula menggunakan skema Sender Keep All (SKA) justru menguntungkan pelanggan. Sebab, dinilai bisa menyetop SMS gratis lintas operator yang dinilai sebagai pemicu maraknya aksi spam SMS.
"Pelanggan justru akan diuntungkan karena biaya retail SMS lintas operator yang tadinya Rp 100-150 menjadi turun jadi maksimal Rp 23. Harganya juga bisa dinegosiasikan secara kulakan (borongan), tergantung B2B (business to business) antaroperator," papar anggota BRTI, Nonot Harsono, kepada detikINET.
Soal membengkaknya biaya yang dikeluhkan Mastel, Nonot pun menilai tentangan itu tak beralasan. "Operator cuma perlu membuat kesepakatan clearing CDR (call data record) saja untuk saling mencocokan penagihan," kata dia.
Kemudian tentang kebijakan yang dinilai sudah ketinggalan jaman, lagi-lagi BRTI menolak anggapan itu. "Kebijakan ini tidak terlambat. Justru, kebijakan ini keluar sesuai perkembangan jaman," ujar Nonot.
"Jika dulu SMS menggunakan SKA karena logikanya akan saling berbalas kirim, sekarang tidak demikian. Sekarang SMS banyak digunakan untuk tujuan bisnis dan advertising, itu sebabnya perlu ada kebijakan baru yang mengatur hal itu," paparnya lebih lanjut.
Nonot sendiri tak memungkiri jika kebijakan ini lebih menguntungkan operator besar yang memiliki banyak pelanggan. "Wajar saja, pelanggan mereka banyak karena investasinya juga besar. Kalau dulu SMS dari operator lain bisa langsung lewat tanpa bayar, itu kan merugikan yang punya jalan. Ya sekarang kalau lewat harus bayar, seperti masuk jalan tol," kata dia
Tentangan itu disuarakan oleh Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Santosa yang menilai kebijakan itu sudah terlambat. Seharusnya, kata dia, kebijakan ini diterapkan saat industri seluler baru mulai dibangun.
"Nah, kalau baru sekarang dijalankan (2012) bisa berdampak tidak hanya belanja modal, tapi juga menambah beban operasional," jelasnya kepada detikINET, Rabu (21/11/2011).
Beban yang dimaksud berupa persiapan modifikasi storage, server, sistem billing, pengalokasikan dana untuk belanja modal (capital expenditure) dan sistem interkoneksinya masing-masing.
Setyanto pun menilai, penerapan SMS cost based juga tak akan efektif menghentikan pengiriman SMS spam mengingat kompetisi di industri telekomunikasi selalu menimbulkan kreativitas baru.
"Jika memang tujuan utamanya menghentikan SMS Spam alias pengiriman informasi yang tak diinginkan ke pelanggan, itu tidak akan efektif. Lihat saja nanti, saya yakin akan muncul penawaran yang cerdik dari operator," tukasnya.
Justru Menguntungkan
Sementara menurut Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), pergantian rezim SMS interkoneksi berbasis biaya yang semula menggunakan skema Sender Keep All (SKA) justru menguntungkan pelanggan. Sebab, dinilai bisa menyetop SMS gratis lintas operator yang dinilai sebagai pemicu maraknya aksi spam SMS.
"Pelanggan justru akan diuntungkan karena biaya retail SMS lintas operator yang tadinya Rp 100-150 menjadi turun jadi maksimal Rp 23. Harganya juga bisa dinegosiasikan secara kulakan (borongan), tergantung B2B (business to business) antaroperator," papar anggota BRTI, Nonot Harsono, kepada detikINET.
Soal membengkaknya biaya yang dikeluhkan Mastel, Nonot pun menilai tentangan itu tak beralasan. "Operator cuma perlu membuat kesepakatan clearing CDR (call data record) saja untuk saling mencocokan penagihan," kata dia.
Kemudian tentang kebijakan yang dinilai sudah ketinggalan jaman, lagi-lagi BRTI menolak anggapan itu. "Kebijakan ini tidak terlambat. Justru, kebijakan ini keluar sesuai perkembangan jaman," ujar Nonot.
"Jika dulu SMS menggunakan SKA karena logikanya akan saling berbalas kirim, sekarang tidak demikian. Sekarang SMS banyak digunakan untuk tujuan bisnis dan advertising, itu sebabnya perlu ada kebijakan baru yang mengatur hal itu," paparnya lebih lanjut.
Nonot sendiri tak memungkiri jika kebijakan ini lebih menguntungkan operator besar yang memiliki banyak pelanggan. "Wajar saja, pelanggan mereka banyak karena investasinya juga besar. Kalau dulu SMS dari operator lain bisa langsung lewat tanpa bayar, itu kan merugikan yang punya jalan. Ya sekarang kalau lewat harus bayar, seperti masuk jalan tol," kata dia
0 Response to "Pro-Kontra SMS Interkoneksi Berbasis Biaya"
Posting Komentar