CP Ilegal Berbondong-bondong Urus Izin
Ilustrasi (Ist.)
Jakarta - Evaluasi terhadap bisnis layanan SMS premium masih terus dilakukan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Nah, di masa 'reses' ini, content provider (CP) yang sebelumnya tak berizin berbondong-bondong mengurus izin bisnisnya ke BRTI.
Dijelaskan Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Gatot S. Dewa Broto, sejak dilepasnya surat edaran unreg massal layanan konten premium pada 14 Oktober lalu, regulator tengah bekerja menata ulang bisnis konten premium.
"Di masa ini ternyata cukup banyak CP yang berbondong-bondong daftar ke BRTI untuk mengurus izinnya. Setelah mereka sebelumnya tak punya izin," tukas Gatot kepada detikINET, Selasa (20/11/2011).
Gatot memang tidak menyebutkan secara pasti ada berapa CP yang tengah mengurus izinnya ke BRTI. Namun setidaknya ini sesuai dengan imbauan yang disampaikan kepada operator untuk mengingatkan mitranya agar mengikuti aturan bisnis konten premium, dimana CP harus teregistrasi di BRTI.
"Kita mendorong operator untuk tidak melakukan kerja sama dengan CP yang tidak berizin. Terlebih jika mereka diduga melakukan tindak pencurian pulsa," lanjut Gatot.
Di dalam revisi Permen 1 tahun 2009 yang tengah digodok BRTI pun aturan bisnis konten premium bakal diperketat. Perbaikan mulai dari pengetatan perjanjian kerja sama antara operator dan CP, mempertegas soal sanksi yang kini masih agak abu-abu alias terlalu normatif. Hingga pengetatan aturan terhadap operator itu sendiri.
"Revisi Permen nomor 1 tahun 2009 saat ini masih berlangsung. Targetnya sampai 31 Desember 2011. Setelah revisi dari BRTI lalu konsultasi publik. Mudah-mudahan akhir tahun sudah keluar," tukas Gatot.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno dalam pertemuannya dengan Komisi I DPR RI pada 10 Oktober lalu menyebutkan bahwa ada sekitar 400 CP yang beroperasi di Indonesia.
Padahal di sisi lain, BRTI mengaku baru menerima sekitar 200-an izin CP di mejanya. Artinya, sekitar 200 CP sisanya tidak berizin alias ilegal.
Inilah yang kemudian memancing tanda tanya banyak pihak. Hingga kemudian Panja Komisi I DPR RI mencecar operator, BRTI, dan CP terkait hal tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat minggu lalu.
Sikap pemerintah sepertinya pun melunak soal ini. Dikatakan Gatot, BRTI tak menutup kemungkinan untuk memfasilitasi para CP ilegal tersebut untuk mengurus izinnya.
"Namun kita lihat dulu track record-nya, jika tersandung kasus pencurian pulsa, mungkin BRTI akan hati-hati untuk memfasilitasinya," Gatot menandaskan.
Tampik Ilegal
Direktur CP Teleakses Solusindo Hermansyah menampik jika perusahaan yang dipimpinnya ada dalam daftar ilegal yang diperoleh di sela RDP Panja Pencurian Pulsa yang berlangsung di Komisi I DPR RI itu.
"Data yang ditampilkan mungkin ada kesalahan, karena kami di-listing sebagai CP ilegal sementara shortcode kami baru dalam tahap pendaftaran dan uji coba ke operator. Shortcode 9775 kami belum ada layanan ke palanggan seluler, bahkan untuk shortcode 7995 sama sekali belum pernah ada kontrak dengan operator manapun," tukasnya.
"Berhubung kontrak saja belum ada, maka kami belum pernah mengirimkan invoice apalagi menerima pembayaran apapun dari operator sebagai mana layaknya CP yang sudah beroperasi," pungkas Hermansyah.
Sedikit berbeda dengan Teleakses, Bintang Y Soepoetro, Direktur SMSNET Nusantara Wapindo menyatakan bahwa pihaknya sebenarnya sudah terdaftar di BRTI. Hanya saja setelah dikonfirmasi ke BRTI, regulator telekomunikasi tersebut salah mendaftar.
"Pada BRTI, perusahaan kami didaftarkan 7575 dan 9797 pada shortcode. Seharusnya 7575 dan 7500," pungkasnya.
Sementara Thomas Arunditya, Corporate Affairs Manager Artajasa Pembayaran Elektronis menyatakan bahwa Artajasa bukanlah merupakan penyelenggara CP. Melainkan perusahaan penyedia layanan sistem pembayaran bagi beberapa institusi dan industri di Indonesia.
"Dimana saat ini Artajasa juga turut mendukung penyediaan sistem dan infastruktur layanan SMS Banking untuk industri perbankan dan industri telekomunikasi," tukas Thomas.
( ash / rns )
Dijelaskan Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Gatot S. Dewa Broto, sejak dilepasnya surat edaran unreg massal layanan konten premium pada 14 Oktober lalu, regulator tengah bekerja menata ulang bisnis konten premium.
"Di masa ini ternyata cukup banyak CP yang berbondong-bondong daftar ke BRTI untuk mengurus izinnya. Setelah mereka sebelumnya tak punya izin," tukas Gatot kepada detikINET, Selasa (20/11/2011).
Gatot memang tidak menyebutkan secara pasti ada berapa CP yang tengah mengurus izinnya ke BRTI. Namun setidaknya ini sesuai dengan imbauan yang disampaikan kepada operator untuk mengingatkan mitranya agar mengikuti aturan bisnis konten premium, dimana CP harus teregistrasi di BRTI.
"Kita mendorong operator untuk tidak melakukan kerja sama dengan CP yang tidak berizin. Terlebih jika mereka diduga melakukan tindak pencurian pulsa," lanjut Gatot.
Di dalam revisi Permen 1 tahun 2009 yang tengah digodok BRTI pun aturan bisnis konten premium bakal diperketat. Perbaikan mulai dari pengetatan perjanjian kerja sama antara operator dan CP, mempertegas soal sanksi yang kini masih agak abu-abu alias terlalu normatif. Hingga pengetatan aturan terhadap operator itu sendiri.
"Revisi Permen nomor 1 tahun 2009 saat ini masih berlangsung. Targetnya sampai 31 Desember 2011. Setelah revisi dari BRTI lalu konsultasi publik. Mudah-mudahan akhir tahun sudah keluar," tukas Gatot.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno dalam pertemuannya dengan Komisi I DPR RI pada 10 Oktober lalu menyebutkan bahwa ada sekitar 400 CP yang beroperasi di Indonesia.
Padahal di sisi lain, BRTI mengaku baru menerima sekitar 200-an izin CP di mejanya. Artinya, sekitar 200 CP sisanya tidak berizin alias ilegal.
Inilah yang kemudian memancing tanda tanya banyak pihak. Hingga kemudian Panja Komisi I DPR RI mencecar operator, BRTI, dan CP terkait hal tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat minggu lalu.
Sikap pemerintah sepertinya pun melunak soal ini. Dikatakan Gatot, BRTI tak menutup kemungkinan untuk memfasilitasi para CP ilegal tersebut untuk mengurus izinnya.
"Namun kita lihat dulu track record-nya, jika tersandung kasus pencurian pulsa, mungkin BRTI akan hati-hati untuk memfasilitasinya," Gatot menandaskan.
Tampik Ilegal
Direktur CP Teleakses Solusindo Hermansyah menampik jika perusahaan yang dipimpinnya ada dalam daftar ilegal yang diperoleh di sela RDP Panja Pencurian Pulsa yang berlangsung di Komisi I DPR RI itu.
"Data yang ditampilkan mungkin ada kesalahan, karena kami di-listing sebagai CP ilegal sementara shortcode kami baru dalam tahap pendaftaran dan uji coba ke operator. Shortcode 9775 kami belum ada layanan ke palanggan seluler, bahkan untuk shortcode 7995 sama sekali belum pernah ada kontrak dengan operator manapun," tukasnya.
"Berhubung kontrak saja belum ada, maka kami belum pernah mengirimkan invoice apalagi menerima pembayaran apapun dari operator sebagai mana layaknya CP yang sudah beroperasi," pungkas Hermansyah.
Sedikit berbeda dengan Teleakses, Bintang Y Soepoetro, Direktur SMSNET Nusantara Wapindo menyatakan bahwa pihaknya sebenarnya sudah terdaftar di BRTI. Hanya saja setelah dikonfirmasi ke BRTI, regulator telekomunikasi tersebut salah mendaftar.
"Pada BRTI, perusahaan kami didaftarkan 7575 dan 9797 pada shortcode. Seharusnya 7575 dan 7500," pungkasnya.
Sementara Thomas Arunditya, Corporate Affairs Manager Artajasa Pembayaran Elektronis menyatakan bahwa Artajasa bukanlah merupakan penyelenggara CP. Melainkan perusahaan penyedia layanan sistem pembayaran bagi beberapa institusi dan industri di Indonesia.
"Dimana saat ini Artajasa juga turut mendukung penyediaan sistem dan infastruktur layanan SMS Banking untuk industri perbankan dan industri telekomunikasi," tukas Thomas.
( ash / rns )
0 Response to "CP Ilegal Berbondong-bondong Urus Izin"
Posting Komentar